Sabtu, 15 Desember 2012

BUDAYA TRANSLOKAL-LOKAL DALAM WAYANG PALEMBANG



BUDAYA TRANSLOKAL-LOKAL DALAM WAYANG PALEMBANG

Pendahuluan
Kesenian tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya dan perlu dipelihara serta dilestarikan. Palembang dikenal cukup luas dan kaya akan seni budayanya, dan salah satu seni budaya yang ada adalah berupa “Wayang Palembang”.
Wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional di Indonesia, yakni sebuah seni pertunjukan dengan media suatu gambar atau tiruan orang (boneka) yang terbuat dari kulit maupun kayu. Wayang sebagai karya seni jelas mengandung nilai-nilai budaya yang universal. Hal tersebut dikarenakan wayang berbicara tentang kehidupan manusia pada umumnya. Apabila dilihat dari peran tokoh-tokoh maupun isi ceritanya, cerita wayang merupakan saduran dari kisah Mahabarata dan Ramayana dari India. Dalam perkembangannya, bentuk kesenian wayang ini pernah dijadikan sebagai alat dakwah oleh para Wali Songo di Jawa dengan tujuan agar ajaran Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat.[1]
Wayang dapat juga dikatakan sebagai media komunikasi karena merupakan jenis kesenian yang bersifat audiovisual yang mana antara penonton dan dalang yang memainkannya akan terjadi kontak komunikasi secara langsung sehingga dapat menciptakan wahana yang dapat mempererat silaturrahmi sesama masyarakat. Wayang dapat juga dikatakan sebagai media komunikasi yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, karena wayang memiliki beberapa unsur nilai-nilai yang diperankannya. Adapun unsur nilai-nilai tersebut diantaranya adalah : Unsur nilai hiburan, nilai seni, nilai pendidikan dan penerangan, nilai pengetahuan,  nilai rokhani, musik  dan simbolik.[2]
Kesenian wayang dikenal di berbagai daerah di Indonesia (baik yang telah punah maupun yang masih dilestarikan), salah satunya adalah Palembang. Meskipun belum jelas sejak kapan dan dari mana asal “wayang Palembang”, namun yang jelas berdasarkan beberapa peninggalan yang masih bisa dijumpai (salah satu contoh adalah naskah cerita wayang) keberadaan wayang Palembang sepertinya pernah eksis pada masa lalu (termasuk pada Masa Kesultanan Palembang).[3] Naskah-naskah cerita wayang Palembang juga tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia, Museum Balaputara Dewa, maupun pada beberapa masyarakat penyimpan naskah di Palembang. Selain naskah, beberapa peninggalan berupa peralatan wayang juga tersimpan oleh pewaris atau keturunan dari seorang dalang Palembang.[4]
Beberapa sumber menyebutkan bahwa wayang Palembang hampir sama seperti halnya wayang kulit di Jawa, sehingga dapat diduga bahwa wayang Palembang berasal dari Jawa. Perbedaan yang ada salah satunya adalah dalam penyampaiannya oleh seorang dalang dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang.7 Keberadaan wayang Palembang menunjukkan adanya pertemuan atau kontak budaya yang akhirnya menciptakan akulturasi maupun sinkretisasi budaya, sehingga budaya translokal yang berbaur dengan budaya lokal pun dapat terjelma dalam sebuah seni wayang.
Pada saat ini sepertinya era wayang Palembang dapat dikatakan sudah tenggelam atau hampir punah. Hal ini sangat memprihatinkan sebab seni wayang merupakan salah satu kekayaan seni tradisional sebagai warisan budaya yang perlu dilestarikan. Tulisan ini akan mengulas secara singkat keberadaan wayang Palembang yang diduga pada masa Kesultanan Palembang pun kesenian tersebut diakui keberadaanya.



B. Selintas Sejarah Keberadaan Wayang Palembang
Mengenai sejak kapan keberadaan wayang Palembang, sampai saat ini belum banyak diketemukan sumber yang menyebutkan secara pasti sehubungan dengan hal tersebut. Namun demikian ada salah satu sumber menyebutkan bahwa pada masa Ario Damar (Ariodillah) berkuasa di Palembang (1455-1486M), pada saat itu di sana telah ada seperangkat alat-alat dalam pertunjukan wayang maupun seorang “Dalang”.[5] Informasi tersebut memberi petunjuk bahwa sejak masa Palembang di Bawah protektorat dari Kerajaan Majapahid di Jawa, dan sebagai Adipati pada saat itu adalah Ario Damar (setelah masuk Islam bernama Ario Dillah atau Ario Abdillah)[6] keberadaan wayang telah ada di Palembang.
Hanafiah berpendapat bahwa keberadaan wayang di Palembang adalah seiring dengan keberadaan terbentuknya Keraton di Palembang oleh Elit Jawa. Wayang Palembang terus berkembang pada masyarakat Palembang, hal tersebut terbukti bahwa pada tahun 1943 pementasan wayang Palembang di gelar di daerah Seberang Ulu (Kertapati). Pada saat itu Djohan Hanafiah dapat menyaksikan langsung pertunjukan tersebut bersama K.H Muhammad Asyik (salah satu Ulama Palembang).[7]

Selain itu, informasi lainnya menyebutkan bahwa pagelaran Wayang Palembang terakhir kali di tayangkan di TVRI Palembang pada tahun 1983.[8]
Iformasi lain yang menyebutkan mengenai siapa saja pembawa kesenian wayang di Palembang, salah satu informasi menyebutkan bahwa seni wayang di bawa oleh putra dari Sunan Kudus (salah satu dari Wali Songo penyebar Islam di Jawa) yang bernama Mas Syahid (bergelar Panembahan Palembang) dan Mas Nurdin (bergelar Pangeran Palembang).[9]
Terlepas dari beberapa sumber di atas mengenai mana yang benar, banyak bukti menunjukkan bahwa seni wayang yang ceritanya berasal/bersumber dari adanya tradisi tulis yang menghasilkan karya sastra, berupa naskah-naskah cerita wayang, pernah eksis pada masa lalu di Palembang, termasuk pada masa Kesultanan Palembang.[10]
Salah satu sumber menyebutkan bahwa pada tahun 1819 ketika terjadi perang Menteng di mana Kesultanan Palembang berperang melawan Kolonial Belanda dan dimenangkan oleh pihak Kesultanan, maka rakyat Palembang kemudian mengadakan perayaan dengan pagelaran wayang yang bertempat di Beteng Kuto Besak selama 7 hari 7 malam dan memotong kerbau sebanyak 40 ekor.[11]
Dapat dikatakan bahwa seni wayang yang berasal dari Jawa itulah yang melahirkan keberadaan seni “Wayang Palembang”. Fenomena tersebut dapat dipahami dengan paradigma “akulturasi”. Menurut Herskovits dkk.15. Akulturasi didefinisikan sebagai : “Acculturation comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different cultures come into continous first-hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either on both groups”.
Dapat dikatakan bahwa kontak melahirkan proses peniruan, penyatuan, pengubahan berbagai macam unsur kebudayaan yang datang dari luar dengan unsur-unsur kebudayaan yang telah ada dalam masyarakat penerimanya. Seperti diketahui, “Wayang Palembang” adalah wayang kulit seperti halnya di Jawa, namun dalam hal pemakaian bahasa oleh seorang “dalang” dalam pementasan cerita memakai bahasa Melayu Palembang. Selain itu terdapatnya tokoh-tokoh pewayangan yang diberi gelar sepertihalnya gelar yang ada di Palembang seperti “ Ki Agus Petruk”, “Ki Agus Gareng” dan sebagainya.

C. Cerita Wayang Palembang
Berdasarkan beberapa referensi yang ada dapat diketahui bahwa cerita wayang Palembang terbagi atas dua jenis yaitu yang tertulis dalam aksara Jawa dan aksara Arab-Melayu. Di Museum Balaputra Dewa tersimpan satu naskah wayang beraksara Jawa yang berjudul Parta Krama. Dalam teks tersebut dikisahkan tentang perkawinan antara Arjuna dengan Dewi Supraba dari kayangan.
Naskah cerita wayang Palembang yang beraksara Arab Melayu dapat di jumpai di Perpustakaan Nasional RI bernomor ML 235 . Naskah ini tidak berjudul dan berisi tiga teks. Teks pertama adalah cerita wayang yang berjudul Bambang To’ Seno. Teks kedua adalah syair yang berjudul Syair Sarikat Islam, dan teks ketiga adalah cerita wayang yang berjudul Bambang Gandawardaya.
Selain naskah-naskah yang tersimpan di Perpustakaan dan Museum, terdapat juga naskah-naskah wayang yang tersimpan oleh beberapa ahli waris pemilik naskah di Palembang. Naskah-naskah yang disimpan sebagian masyarakat Palembang diantaranya adalah :
Hikayat Padawa Lima
Naskah yang bentuknya tebal ini disimpan oleh R. H. Muhammad Akib. Kondisi naskah ini sangat memprihatinkan, pada naskah ini kelihatan sudah tidak lengkap karena terdapat beberapa halaman yang kosong dan juga banyak yang telah robek kertasnya. Meskipun naskah ini tidak mempunyai judul dan teksnya agak sulit untuk dibaca, namun dapat dipahami isi teks di dalamnya adalah kisah dari Pendawa Lima.
Hikayat Jatuhnya Negeri Pendara
Pemilik dari naskah ini adalah Mas Agus Haji Abdul Madjid bin Mas Agus Haji Agus yang tinggal di Kampung 28 Ilir Palembang pada tahun 1340 H/ M. Naskah ini sekarang menjadi koleksi dari Nyimas Laili Yulita..
Cerita Wayang
Naskah ini merupakan koleksi dari H.M Zainuddin Syawaluddin. Kondisi dari naskah ini sudah memprihatinkan, pada awal dan akhit teks sulit dibaca serta maksud dari teks tersebut juga sulit dipahami. Pada bagian tengah dari naskah tersebut terdapat gambar wayang yang mana dijelaskan juga didalamnya dengan tulisan Raden Arjuna dan Mas Agus Patoruk saudara Mas Agus Guring.
Keberadaan naskah-naskah dari Palembang terutama yang bertemakan sastra pada masa Kesultanan Palembang tentunya dapat di pahami, karena Para Sultan Palembang sendiri menunjukkan perhatian dan kegemarannya terhadap kebudayaan dengan menjadi pelindung kegiatan kesusastraan. Terutama Sultan Mahmud Badaruddin II, yang dikenal juga sebagai pengarang sejumlah karya puisi.

D. Sekilas Tentang Pagelaran Wayang Palembang
Wayang Palembang dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan keberadaan Wayang Kulit di Jawa. Oleh karena keberadaan wayang Palembang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah keberadaan Elit Jawa yang membentuk pemerintahan di Palembang pada masa tersebut. Berdasar informasi yang didapat, terdapat beberapa perbedaan dalam pementasan Wayang Palembang dibandingkan dengan Wayang Kulit di Jawa.

Alat musik atau instrumen yang dipakai jumlahnya lebih sedikit, tidak menggunakan gedog, dan tidak memakai sinden. Adapun instrumen tersebut diantaranya adalah : saron, bonang, gambang, gendang, rebab, gong, kecrek. Untuk membawakan lagu-lagu pengiring dengan menggunakan alat instumen saja. Penonton hanya mendengarkan dari dalang yang memainkannya, dengan demikian keindahan pertunjukan tersebut tergantung dari kreasi dalang yang memainkannya, oleh karena itu seorang dalang dituntut harus dapat membaca situasi dari para penontonnya.
Bahasa yang dipakai berdasar informasi mengikuti perkembangan zaman, pada awalnya bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa, kemudian bekembang menjadi
menggunakan bahasa Melayu Palembang.[12] Pada awalnya pagelaran wayang Palembang juga dilaksanakan selama semalam suntuk, namun pagelaran wayang Palembang dalam perkembangannya dilakukan secara singkat saja yakni sekitar 3 jam, karena hanya mengambil cerita intinya saja atau dengan istilah pakeliran padet (rangkuman cerita). Singkatnya waktu dalam pagelaran dimaksudkan agar yang menonton lebih memahami dan mengerti inti dari cerita wayang Palembang tersebut..
Mengenai cara penampilan wayang Palembang, seperti cara masuk dan cara berbicara para tokoh wayang agak lebih bebas dan kurang beraturan, sebagai contoh tokoh wayang yang seharusnya keluar dari arah kiri tanpa alasan yang jelas keluar dari arah sebaliknya, semisal tokoh Rahwana yang antagonis.
Cerita yang dilakonkan berkisar pada cerita Mahabarata maupun Ramayana. Sebagai ilustrasi pementasan wayang Palembang adalah sebagai berikut :[13]
Pembukaan :
1. Lagu Gending Sriwijaya
2. Lagu Setabik

Jejer I :
Caturan Negeri Gambang Kencono Prabu Indrapuro dihadapi oleh Prabu Kencono, Raden Jago Arit, Raden Jago Kethu. Setelah masing-masing berbincang-bincang tentang keadaan negeri masing-masing, maka Prabu Indrapuro memberi petunjuk tentang pemerintahan. Selasai itu Prabu Indrapura mengajak Raden Jago Arit dan Raden Jago Kethu ke Astino untuk mencari Pendito Durno dan akan dijadikan tumbal di negeri Kencono. Prabu Indrapuro menyerahkan kerajaan Gambang Kencono kepada Prabu Kencono. Sebelum berangkat mereka menikmatihiburan dulu bersama-sama.
Kemudian ditampilkan lagu :
1. Cup Mailang
2. Dara Bekhusek setelah selesai lagu tersebut kemudian mereka berangkat.

Jejer II ;
Di Tapal Batas Negeri Astino Raden Jago Arit bertemu Citraksi yang kemudian berselisih paham sehingga menjadi perang. Citraksi dibantu oleh Raden Dursasono. Raden Jago Arit akhirnya kalah. Oleh Prabu Indapuro, Raden Jago Arit dan Raden Jago Kethu disuruh menyusul ke dalam istana mencri Pendito Durno. Prabu Indrapuro melawan Dursasono. Ketika perkelahian berhenti, Raden Jago Arit dan Raden Jago Kethu melapor kepada Prabu Indrapuro bahwa Pendito Durno melarikan diri.

Jejer III :
Caturan Pendowo Prabu Amarta dihadapi saudara-saudaranya membicarakan keadaan keluarga dan kerajaan. Kemudian Prabu Amarta melarang Raden arjuno jangan sampai memarahi Raden AngkoWijoyo yang telah kehilangan Petruk, Gareng dan Bagong. Ia mengajak saudara-saudaranya membantu Semar yang sedang sedih memikirkan anak-anaknya yang sedang hilang. Tiba-tiba datanglah Pendito Durno yang alasan kedatangannya karena ia kangen dengan keluarga PendowoTidak berapa lama kemudian datanglah Prabu Indrapuro yang akan meminta Pendito Durno. Keluarga Pendowo mempertahankan gurunya, maka terjadilah perang antara Prabu Indrapuro melawan Keluarga Pendowo.

Keluaga Pendowo kalah semua, untunglah datang Prabu Dwarawati, Kresno yang sangat bijaksana, meminta Semar untuk melawan Prabu Indrapuro.
Ternyata Semar dapat mengalahkan Prabu Indrapuro, bahkan ia berubah ke asalnya. Ternyata yang menjadi/menyamar menjadi Semar sebagai Prabu Inrapuro itu adalah Petruk.

E.
 Perkembangan Wayang Palembang

Dalam perkembangannya keberadaan wayang Palembang belum dapat dipastikan apakah juga berperan dalam proses Islamisasi di daerah Palembang (seperti halnya cara dakwah Wali Songo di Jawa), ataukah hanya sebagai media hiburan saja tentunya permasalahan ini perlu adanya penelitian lebih lanjut.

Salah satu keturunan dalang yang masih dapat ditemui di Palembang pada saat ini adalah Wirawan Rusdi (32th), ia merupakan keturunan dari seorang dalang yang bernama Ki Agus Rusdi Rasyid (Alm). Pada saat ini ia tinggal di daerah Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Gandus. Dirumahnya masih dapat ditemui beberapa peralatan wayang yang kelihataanya kurang mendapatkan perawatan yang layak sehingga terlihat mulai rusak. Peralatan tersebut diantaranya adalah : beberapa wayang, dan peralatan-peralatan instrumen. Dijelaskan juga bahwa koleksi wayang maupun peralatan yang dipunyai orang tuanya dahulu beberapa musnah karena terjadi musibah kebakaran.

Pada umumnya dalang yang ada di Palembang seperti Ki Agus Rusdi Rasyid (Alm) yang pernah berperan dalam seni Wayang Palembang tidak menurunkan kemampuan atau keahliannya kepada anak keturunannya, sehingga penerus dalang Palembang dapat dikatakan tidak ada lagi.



D. Penutup

Pada saat ini sepertinya era wayang Palembang sudah tenggelam atau punah, yang mana telah tergeser oleh salah satunya adalah dominasi seni”pop”modern yang lebih menghibur. Berbagai hajatan rakyat yang dahulunya pernah diisi oleh ruang “pagelaran wayang” saat ini telah disergap oleh pertunjukan organ tunggal di mana-mana. Selain itu generasi muda juga tidak lagi berminat untuk menekuni seni tradisional wayang Palembang karena dianggap kurang menarik, ketinggalan zaman, tidak menjanjikan penghasilan yang layak dan sebagainya. Sementara itu nampaknya dari pihak pemerintah setempat dalam hal ini dinas yang terkait dengan bidang kebudayaan kurang mempunyai agenda yang konkret untuk melestarikan salah satu kekayaan budaya tradisional tersebut.

Hal tersebut di atas tentunya sangat memprihatinkan, sebab seni “wayang” merupakan salah satu kekayaan seni tradisional yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya yang perlu dilestarikan. Pelestarian wayang Palembang tentunya perlu dilakukan dengan melibatkan beberapa unsure diantaranya adalah Dinas Kebudayaan Palembang maupun segala unsure yang terkait lainnya. Usaha tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan mengadakan revitalisasi seni wayang Palembang dengan langkah, salah satunya adalah memberikan latihan pada kader yang mempunyai bakat dalam bidang tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Amir Fatah, Metode Dakwah Wali Songo (Bandung : CV. Sriwijaya, 1996)

Bambang Sugito, Dakwah Islam Melalui Media Wayang (Yogyakarta: Aneka, 1992)

Iskandar , “Palembang Kraton Manuscripts” dalam A Man of Indonesian Letters: Essays in Honour of Prof.A. Teeuw (Dordrecht : Foris Publication, 1986)

Boedanani , Tambo Kerajaan Sriwijaya (Bandung: Tarate, 1961)
Abd. Azim Amin. “Syeh Muhammad Azhari al-Palimbani” Laporan Penelitian Naskah Melayu Palembang.

Herskovits dkk. Dalam J.W.M Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta : Kanisius, 1984)
Behrend. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 : Perpustakaan Nasional RI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise D'Extreme-Orient, 1998).

Kgs. Rusdi Rasyid, Serat Tuntunan Pelaksanaan Pagelaran Wayang Palembang dengan Lakon Petruk Munggah Ratu ( Palembang : Pepadi. T.Th),

Achadiyati Ikram (Ed.), Katalog Naskah Palembang, (Tokyo: Yanassa dan TUFS, 2004), hlm. 233

http://abdiredja.blogspot.com/2010/02/budaya-translokal-lokal-dalam-wayang.html
10. Endang Rochmiatun BUDAYA TRANSLOKAL-LOKAL DALAM WAYANG PALEMBANG1 (Telaah Atas Naskah-Naskah Wayang), dalam


[1] Amir Fatah, Metode Dakwah Wali Songo (Bandung : CV. Sriwijaya, 1996), hlm. 33

[2] Bambang Sugito, Dakwah Islam Melalui Media Wayang (Yogyakarta: Aneka, 1992), hlm.36-37

[3] Iskandar menyebutkan ada beberapa naskah wayang yang tersimpan di Royal Asiatic Society di Inggris (koleksi Raffles) yang berasal dari Palembang. Berdasarkan catatan di dalam naskah, ada salah satu naskah yang dimiliki oleh putra mahkota Sultan Muhammad Baha’udin, yakni Sultan Mahmud Badaruddin. Baca Iskandar, “Palembang Kraton Manuscripts” dalam A Man of Indonesian Letters: Essays in Honour of Prof.A. Teeuw (Dordrecht : Foris Publication, 1986), hlm. 67-72.

[4] Salah seorang penyimpan peralatan wayang Palembang adalah Wirawan Rusdi, ia merupakan keturunan dari seorang dalang yang bernama Ki Agus Rusdi Rasyid (Alm), sekarang tinggal di daerah Kelurahan 36 Ilir, Kec. Gandus. Kota Palembang.

[5] Dalang adalah yang memainkan seni pertunjukan wayang. Baca Boedanani , Tambo Kerajaan Sriwijaya (Bandung: Tarate, 1961), hlm. 50-52.
9Sebagaimana diketahui, abad XV Palembang termasuk daerah kekuasaan Majapahit dan sebagai daerah taklukan maka Majapahit menempatkan wakilnya di Palembang yakni Ario Damar (putra Prabu Brawijaya Sri Kertawijaya). Pada saat Ario Damar berkuasa, Raden Rahmad atau kemudian dikenal dengan Sunan Ampel singgah selama dua bulan di Palembang dan berhasil mengajak Ario Damar masuk Islam meski dengan sembunyi-sembunyi, dengan kata lain belum mau terbuka dengan keislamannya. Hal tersebut dimungkinkan karena kekawatirannya terhadap penguasa Majapahit yang masih beragama Hindu. Setelah masuk agama Islam namanya berubah menjadi Ario Dillah atau Ario Abdillah. Pada waktu-waktu tertentu Ario Dillah menghadap Raja Majapahit, dan ia selalu singgah ke tempat Raden Rahmad (Sunan Ampel) guna menambah ilmu pengetahuan Islam. Setelah kembali ke Palembang ia selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang berdagang di Palembang

[6] Sebagaimana diketahui, abad XV Palembang termasuk daerah kekuasaan Majapahit dan sebagai daerah taklukan maka Majapahit menempatkan wakilnya di Palembang yakni Ario Damar (putra Prabu Brawijaya Sri Kertawijaya). Pada saat Ario Damar berkuasa, Raden Rahmad atau kemudian dikenal dengan Sunan Ampel singgah selama dua bulan di Palembang dan berhasil mengajak Ario Damar masuk Islam meski dengan sembunyi-sembunyi, dengan kata lain belum mau terbuka dengan keislamannya. Hal tersebut dimungkinkan karena kekawatirannya terhadap penguasa Majapahit yang masih beragama Hindu. Setelah masuk agama Islam namanya berubah menjadi Ario Dillah atau Ario Abdillah. Pada waktu-waktu tertentu Ario Dillah menghadap Raja Majapahit, dan ia selalu singgah ke tempat Raden Rahmad (Sunan Ampel) guna menambah ilmu pengetahuan Islam. Setelah kembali ke Palembang ia selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang berdagang di Palembang

[7] 10 Djohan Hanafiah, Budayawan, Wawancara, Palembang Juni 2008.
[8] Nurhayati, Kabag. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang, Wawancara, Juni 2008
[9] Abd. Azim Amin. “Syeh Muhammad Azhari al-Palimbani” Laporan Penelitian Naskah Melayu Palembang.

[10] Iskandar, op. cit.

[11] Abdul Azim Amin. Tokoh Masyarakat. Wawancara. Palembang Mei 2008.
[12] Syukri Akhkab, Dalang Palembang, Wawancara, Juni 2008.
[13] Kgs. Rusdi Rasyid, Serat Tuntunan Pelaksanaan Pagelaran Wayang Palembang dengan Lakon Petruk Munggah Ratu ( Palembang : Pepadi. T.Th), hlm 1-2

1 komentar:

  1. bagus nih pembahasannya mengenai sejarah wayang di palembang, emg beda dengan blog lainnya..

    http://www.marketingkita.com/2017/08/manfaat-adanya-distributor-dalam-ilmu-marketing.html

    BalasHapus