BUDAYA TRANSLOKAL-LOKAL DALAM WAYANG PALEMBANG
Pendahuluan
Kesenian tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang tak ternilai harganya
dan perlu dipelihara serta dilestarikan. Palembang dikenal cukup luas dan kaya
akan seni budayanya, dan salah satu seni budaya yang ada adalah berupa “Wayang
Palembang”.
Wayang merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional di Indonesia, yakni
sebuah seni pertunjukan dengan media suatu gambar atau tiruan orang (boneka)
yang terbuat dari kulit maupun kayu. Wayang sebagai karya seni jelas mengandung
nilai-nilai budaya yang universal. Hal tersebut dikarenakan wayang berbicara
tentang kehidupan manusia pada umumnya. Apabila dilihat dari peran tokoh-tokoh
maupun isi ceritanya, cerita wayang merupakan saduran dari kisah Mahabarata dan
Ramayana dari India. Dalam perkembangannya, bentuk kesenian wayang ini pernah
dijadikan sebagai alat dakwah oleh para Wali Songo di Jawa dengan tujuan agar
ajaran Islam dapat mudah diterima oleh masyarakat.[1]
Wayang dapat juga dikatakan sebagai media komunikasi karena merupakan jenis
kesenian yang bersifat audiovisual yang mana antara penonton dan dalang yang
memainkannya akan terjadi kontak komunikasi secara langsung sehingga dapat
menciptakan wahana yang dapat mempererat silaturrahmi sesama masyarakat. Wayang
dapat juga dikatakan sebagai media komunikasi yang sangat erat dengan kehidupan
sehari-hari masyarakat, karena wayang memiliki beberapa unsur nilai-nilai yang
diperankannya. Adapun unsur nilai-nilai tersebut diantaranya adalah : Unsur
nilai hiburan, nilai seni, nilai pendidikan dan penerangan, nilai
pengetahuan, nilai rokhani, musik dan simbolik.[2]
Kesenian wayang dikenal di berbagai daerah di Indonesia (baik yang telah punah
maupun yang masih dilestarikan), salah satunya adalah Palembang. Meskipun belum
jelas sejak kapan dan dari mana asal “wayang Palembang”, namun yang jelas
berdasarkan beberapa peninggalan yang masih bisa dijumpai (salah satu contoh
adalah naskah cerita wayang) keberadaan wayang Palembang sepertinya pernah
eksis pada masa lalu (termasuk pada Masa Kesultanan Palembang).[3]
Naskah-naskah cerita wayang Palembang juga tersimpan di Perpustakaan Nasional
Indonesia, Museum Balaputara Dewa, maupun pada beberapa masyarakat penyimpan
naskah di Palembang. Selain naskah, beberapa peninggalan berupa peralatan
wayang juga tersimpan oleh pewaris atau keturunan dari seorang dalang
Palembang.[4]
Beberapa sumber menyebutkan bahwa wayang Palembang hampir sama seperti halnya
wayang kulit di Jawa, sehingga dapat diduga bahwa wayang Palembang berasal dari
Jawa. Perbedaan yang ada salah satunya adalah dalam penyampaiannya oleh seorang
dalang dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang.7 Keberadaan wayang Palembang
menunjukkan adanya pertemuan atau kontak budaya yang akhirnya menciptakan
akulturasi maupun sinkretisasi budaya, sehingga budaya translokal yang berbaur
dengan budaya lokal pun dapat terjelma dalam sebuah seni wayang.
Pada saat ini sepertinya era wayang Palembang dapat dikatakan sudah tenggelam
atau hampir punah. Hal ini sangat memprihatinkan sebab seni wayang merupakan
salah satu kekayaan seni tradisional sebagai warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Tulisan ini akan mengulas secara singkat keberadaan wayang
Palembang yang diduga pada masa Kesultanan Palembang pun kesenian tersebut diakui keberadaanya.
B. Selintas Sejarah Keberadaan Wayang Palembang
Mengenai sejak kapan keberadaan wayang Palembang, sampai saat ini belum banyak
diketemukan sumber yang menyebutkan secara pasti sehubungan dengan hal
tersebut. Namun demikian ada salah satu sumber menyebutkan bahwa pada masa Ario
Damar (Ariodillah) berkuasa di Palembang (1455-1486M), pada saat itu di sana
telah ada seperangkat alat-alat dalam pertunjukan wayang maupun seorang
“Dalang”.[5] Informasi tersebut memberi petunjuk bahwa sejak masa Palembang di
Bawah protektorat dari Kerajaan Majapahid di Jawa, dan sebagai Adipati pada
saat itu adalah Ario Damar (setelah masuk Islam bernama Ario Dillah atau Ario
Abdillah)[6] keberadaan wayang telah ada di Palembang.
Hanafiah berpendapat bahwa keberadaan wayang di Palembang adalah seiring dengan
keberadaan terbentuknya Keraton di Palembang oleh Elit Jawa. Wayang Palembang
terus berkembang pada masyarakat Palembang, hal tersebut terbukti bahwa pada
tahun 1943 pementasan wayang Palembang di gelar di daerah Seberang Ulu
(Kertapati). Pada saat itu Djohan Hanafiah dapat menyaksikan langsung
pertunjukan tersebut bersama K.H
Muhammad Asyik (salah satu Ulama Palembang).[7]
Selain itu, informasi lainnya menyebutkan bahwa pagelaran Wayang Palembang
terakhir kali
di tayangkan di TVRI Palembang pada tahun 1983.[8]
Iformasi lain yang menyebutkan mengenai siapa saja pembawa kesenian wayang di
Palembang, salah satu informasi menyebutkan bahwa seni wayang di bawa oleh
putra dari Sunan Kudus (salah satu dari Wali Songo penyebar Islam di Jawa) yang
bernama Mas Syahid (bergelar Panembahan Palembang) dan Mas Nurdin (bergelar
Pangeran Palembang).[9]
Terlepas dari beberapa sumber di atas mengenai mana yang benar, banyak bukti
menunjukkan bahwa seni wayang yang ceritanya berasal/bersumber dari adanya
tradisi tulis yang menghasilkan karya sastra, berupa naskah-naskah cerita
wayang, pernah eksis pada masa lalu di Palembang, termasuk pada masa Kesultanan
Palembang.[10]
Salah satu sumber menyebutkan bahwa pada tahun 1819 ketika terjadi perang
Menteng di mana Kesultanan Palembang berperang melawan Kolonial Belanda dan
dimenangkan oleh pihak Kesultanan, maka rakyat Palembang kemudian mengadakan
perayaan dengan pagelaran wayang yang bertempat di Beteng Kuto Besak selama 7
hari 7 malam dan memotong kerbau sebanyak 40 ekor.[11]
Dapat dikatakan bahwa seni wayang yang berasal dari Jawa itulah yang melahirkan
keberadaan seni “Wayang Palembang”. Fenomena tersebut dapat dipahami dengan
paradigma “akulturasi”. Menurut Herskovits dkk.15. Akulturasi didefinisikan
sebagai : “Acculturation comprehends those phenomena which result when groups
of individuals having different cultures come into continous first-hand
contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either on
both groups”.
Dapat dikatakan bahwa kontak melahirkan proses peniruan, penyatuan, pengubahan
berbagai macam unsur kebudayaan yang datang dari luar dengan unsur-unsur
kebudayaan yang telah ada dalam masyarakat penerimanya. Seperti diketahui,
“Wayang Palembang” adalah wayang kulit seperti halnya di Jawa, namun dalam hal
pemakaian bahasa oleh seorang “dalang” dalam pementasan cerita memakai bahasa
Melayu Palembang. Selain itu terdapatnya tokoh-tokoh pewayangan yang diberi
gelar sepertihalnya gelar yang ada di Palembang seperti “ Ki
Agus Petruk”, “Ki Agus Gareng” dan sebagainya.
C. Cerita Wayang Palembang
Berdasarkan beberapa referensi yang ada dapat diketahui bahwa cerita wayang
Palembang terbagi atas dua jenis yaitu yang tertulis dalam aksara Jawa dan
aksara Arab-Melayu. Di Museum Balaputra Dewa tersimpan satu naskah wayang
beraksara Jawa yang berjudul Parta Krama. Dalam teks tersebut dikisahkan
tentang perkawinan antara Arjuna dengan Dewi Supraba dari kayangan.
Naskah cerita wayang Palembang yang beraksara Arab Melayu dapat di jumpai di
Perpustakaan Nasional RI bernomor ML 235 . Naskah ini tidak berjudul dan berisi
tiga teks. Teks pertama adalah cerita wayang yang berjudul Bambang To’ Seno.
Teks kedua adalah syair yang berjudul Syair Sarikat Islam, dan teks ketiga
adalah cerita wayang yang berjudul Bambang Gandawardaya.
Selain naskah-naskah yang tersimpan di Perpustakaan dan Museum, terdapat juga
naskah-naskah wayang yang tersimpan oleh beberapa ahli waris pemilik naskah di
Palembang. Naskah-naskah yang disimpan sebagian masyarakat Palembang
diantaranya adalah :
Hikayat Padawa Lima
Naskah yang bentuknya tebal ini disimpan oleh R. H. Muhammad Akib. Kondisi
naskah ini sangat memprihatinkan, pada naskah ini kelihatan sudah tidak lengkap
karena terdapat beberapa halaman yang kosong dan juga banyak yang telah robek
kertasnya. Meskipun naskah ini tidak mempunyai judul dan teksnya agak sulit
untuk dibaca, namun dapat dipahami isi teks di dalamnya adalah kisah dari
Pendawa Lima.
Hikayat Jatuhnya Negeri Pendara
Pemilik dari naskah ini adalah Mas Agus Haji Abdul Madjid bin Mas Agus Haji
Agus yang tinggal di Kampung 28 Ilir Palembang pada tahun 1340 H/ M. Naskah ini
sekarang menjadi koleksi dari Nyimas Laili Yulita..
Cerita Wayang
Naskah ini merupakan koleksi dari H.M Zainuddin Syawaluddin. Kondisi dari
naskah ini sudah memprihatinkan, pada awal dan akhit teks sulit dibaca serta
maksud dari teks tersebut juga sulit dipahami. Pada bagian tengah dari naskah
tersebut terdapat gambar wayang yang mana dijelaskan juga didalamnya dengan
tulisan Raden Arjuna dan Mas Agus Patoruk saudara Mas Agus Guring.
Keberadaan naskah-naskah dari Palembang terutama yang bertemakan sastra pada
masa Kesultanan Palembang tentunya dapat di pahami, karena Para Sultan
Palembang sendiri menunjukkan perhatian dan kegemarannya terhadap kebudayaan
dengan menjadi pelindung kegiatan kesusastraan. Terutama Sultan Mahmud
Badaruddin II, yang dikenal juga sebagai
pengarang sejumlah karya puisi.
D. Sekilas Tentang Pagelaran Wayang Palembang
Wayang Palembang dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan keberadaan Wayang
Kulit di Jawa. Oleh karena keberadaan wayang Palembang tidak dapat dipisahkan
dengan sejarah keberadaan Elit Jawa yang membentuk pemerintahan di Palembang
pada masa tersebut. Berdasar informasi yang didapat, terdapat beberapa
perbedaan dalam pementasan Wayang
Palembang dibandingkan dengan Wayang Kulit di Jawa.
Alat musik atau instrumen yang dipakai jumlahnya lebih sedikit, tidak
menggunakan gedog, dan tidak memakai sinden. Adapun instrumen tersebut
diantaranya adalah : saron, bonang, gambang, gendang, rebab, gong, kecrek.
Untuk membawakan lagu-lagu pengiring dengan menggunakan alat instumen saja.
Penonton hanya mendengarkan dari dalang yang memainkannya, dengan demikian
keindahan pertunjukan tersebut tergantung dari kreasi dalang yang memainkannya,
oleh karena itu seorang dalang dituntut harus dapat membaca
situasi dari para penontonnya.
Bahasa yang dipakai berdasar informasi mengikuti perkembangan zaman, pada
awalnya bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa, kemudian bekembang menjadi
menggunakan bahasa Melayu Palembang.[12] Pada awalnya pagelaran wayang
Palembang juga dilaksanakan selama semalam suntuk, namun pagelaran wayang
Palembang dalam perkembangannya dilakukan secara singkat saja yakni sekitar 3
jam, karena hanya mengambil cerita intinya saja atau dengan istilah pakeliran
padet (rangkuman cerita). Singkatnya waktu dalam pagelaran dimaksudkan agar
yang menonton lebih memahami dan mengerti inti dari cerita wayang Palembang
tersebut..
Mengenai cara penampilan wayang Palembang, seperti cara masuk dan cara
berbicara para tokoh wayang agak lebih bebas dan kurang beraturan, sebagai
contoh tokoh wayang yang seharusnya keluar dari arah kiri tanpa alasan yang
jelas keluar dari arah sebaliknya, semisal tokoh Rahwana yang antagonis.
Cerita yang dilakonkan berkisar pada cerita Mahabarata maupun Ramayana. Sebagai
ilustrasi pementasan wayang Palembang adalah sebagai berikut :[13]
Pembukaan :
1. Lagu Gending Sriwijaya
2. Lagu Setabik
Jejer I :
Caturan Negeri Gambang Kencono Prabu Indrapuro dihadapi oleh Prabu Kencono,
Raden Jago Arit, Raden Jago Kethu. Setelah masing-masing berbincang-bincang
tentang keadaan negeri masing-masing, maka Prabu Indrapuro memberi petunjuk
tentang pemerintahan. Selasai itu Prabu Indrapura mengajak Raden Jago Arit dan
Raden Jago Kethu ke Astino untuk mencari Pendito Durno dan akan dijadikan
tumbal di negeri Kencono. Prabu Indrapuro menyerahkan kerajaan Gambang Kencono
kepada Prabu Kencono. Sebelum berangkat mereka menikmatihiburan dulu bersama-sama.
Kemudian ditampilkan lagu :
1. Cup Mailang
2. Dara Bekhusek setelah selesai lagu tersebut kemudian mereka berangkat.
Jejer II ;
Di Tapal Batas Negeri Astino Raden Jago Arit bertemu Citraksi yang kemudian
berselisih paham sehingga menjadi perang. Citraksi dibantu oleh Raden
Dursasono. Raden Jago Arit akhirnya kalah. Oleh Prabu Indapuro, Raden Jago Arit
dan Raden Jago Kethu disuruh menyusul ke dalam istana mencri Pendito Durno.
Prabu Indrapuro melawan Dursasono. Ketika perkelahian berhenti, Raden Jago Arit
dan Raden Jago Kethu melapor kepada Prabu Indrapuro bahwa Pendito Durno
melarikan diri.
Jejer III :
Caturan Pendowo Prabu Amarta dihadapi saudara-saudaranya membicarakan keadaan
keluarga dan kerajaan. Kemudian Prabu Amarta melarang Raden arjuno jangan
sampai memarahi Raden AngkoWijoyo yang telah kehilangan Petruk, Gareng dan
Bagong. Ia mengajak saudara-saudaranya membantu Semar yang sedang sedih
memikirkan anak-anaknya yang sedang hilang. Tiba-tiba datanglah Pendito Durno
yang alasan kedatangannya karena ia kangen dengan keluarga PendowoTidak berapa
lama kemudian datanglah Prabu Indrapuro yang akan meminta Pendito Durno.
Keluarga Pendowo mempertahankan gurunya, maka terjadilah perang antara Prabu
Indrapuro melawan Keluarga Pendowo.
Keluaga Pendowo kalah semua, untunglah datang Prabu Dwarawati, Kresno yang
sangat bijaksana, meminta Semar untuk melawan Prabu Indrapuro.
Ternyata Semar dapat mengalahkan Prabu Indrapuro, bahkan ia berubah ke asalnya.
Ternyata yang menjadi/menyamar menjadi Semar sebagai Prabu Inrapuro itu adalah
Petruk.
E. Perkembangan Wayang Palembang
Dalam perkembangannya keberadaan wayang Palembang belum dapat dipastikan apakah
juga berperan dalam proses Islamisasi di daerah Palembang (seperti halnya cara
dakwah Wali Songo di Jawa), ataukah hanya sebagai media hiburan saja tentunya
permasalahan ini perlu adanya penelitian lebih lanjut.
Salah satu keturunan dalang yang masih dapat ditemui di Palembang pada saat ini
adalah Wirawan Rusdi (32th), ia merupakan keturunan dari seorang dalang yang
bernama Ki Agus Rusdi Rasyid (Alm). Pada saat ini ia tinggal di daerah
Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Gandus. Dirumahnya masih dapat ditemui beberapa
peralatan wayang yang kelihataanya kurang mendapatkan perawatan yang layak
sehingga terlihat mulai rusak. Peralatan tersebut diantaranya adalah : beberapa
wayang, dan peralatan-peralatan instrumen. Dijelaskan juga bahwa koleksi wayang
maupun peralatan yang dipunyai orang tuanya dahulu beberapa musnah karena
terjadi musibah kebakaran.
Pada umumnya dalang yang ada di Palembang seperti Ki Agus Rusdi Rasyid (Alm)
yang pernah berperan dalam seni Wayang Palembang tidak menurunkan kemampuan
atau keahliannya kepada anak keturunannya, sehingga penerus dalang Palembang
dapat dikatakan tidak ada lagi.
D. Penutup
Pada saat ini sepertinya era wayang Palembang sudah tenggelam atau punah, yang
mana telah tergeser oleh salah satunya adalah dominasi seni”pop”modern yang
lebih menghibur. Berbagai hajatan rakyat yang dahulunya pernah diisi oleh ruang
“pagelaran wayang” saat ini telah disergap oleh pertunjukan organ tunggal di
mana-mana. Selain itu generasi muda juga tidak lagi berminat untuk menekuni
seni tradisional wayang Palembang karena dianggap kurang menarik, ketinggalan
zaman, tidak menjanjikan penghasilan yang layak dan sebagainya. Sementara itu
nampaknya dari pihak pemerintah setempat dalam hal ini dinas yang terkait
dengan bidang kebudayaan kurang mempunyai agenda yang konkret untuk
melestarikan salah satu kekayaan budaya tradisional tersebut.
Hal tersebut di atas tentunya sangat memprihatinkan, sebab seni “wayang”
merupakan salah satu kekayaan seni tradisional yang telah ditetapkan sebagai
warisan budaya yang perlu dilestarikan. Pelestarian wayang Palembang tentunya
perlu dilakukan dengan melibatkan beberapa unsure diantaranya adalah Dinas
Kebudayaan Palembang maupun segala unsure yang terkait lainnya. Usaha tersebut
dapat dilakukan salah satunya dengan mengadakan revitalisasi seni wayang
Palembang dengan langkah, salah satunya adalah memberikan latihan pada kader
yang mempunyai bakat dalam bidang tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Fatah, Metode Dakwah Wali Songo (Bandung : CV. Sriwijaya, 1996)
Bambang Sugito, Dakwah Islam Melalui Media Wayang (Yogyakarta: Aneka, 1992)
Iskandar , “Palembang Kraton Manuscripts” dalam A Man of Indonesian Letters:
Essays in Honour of Prof.A. Teeuw (Dordrecht : Foris Publication, 1986)
Boedanani , Tambo Kerajaan Sriwijaya (Bandung: Tarate, 1961)
Abd. Azim Amin. “Syeh Muhammad Azhari al-Palimbani” Laporan Penelitian Naskah
Melayu Palembang.
Herskovits dkk. Dalam J.W.M Bakker SJ, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta :
Kanisius, 1984)
Behrend. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 : Perpustakaan Nasional
RI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise D'Extreme-Orient,
1998).
Kgs. Rusdi Rasyid, Serat Tuntunan Pelaksanaan Pagelaran Wayang Palembang dengan
Lakon Petruk Munggah Ratu ( Palembang : Pepadi. T.Th),
Achadiyati Ikram (Ed.), Katalog Naskah Palembang, (Tokyo: Yanassa dan TUFS,
2004), hlm. 233
[1] Amir Fatah, Metode Dakwah Wali Songo (Bandung : CV. Sriwijaya, 1996), hlm.
33
[2] Bambang Sugito, Dakwah Islam Melalui Media Wayang (Yogyakarta: Aneka,
1992), hlm.36-37
[3] Iskandar menyebutkan ada beberapa naskah wayang yang tersimpan di Royal
Asiatic Society di Inggris (koleksi Raffles) yang berasal dari Palembang.
Berdasarkan catatan di dalam naskah, ada salah satu naskah yang dimiliki oleh
putra mahkota Sultan Muhammad Baha’udin, yakni Sultan Mahmud Badaruddin. Baca
Iskandar, “Palembang Kraton Manuscripts” dalam A Man of Indonesian Letters:
Essays in Honour of Prof.A. Teeuw (Dordrecht : Foris Publication, 1986), hlm.
67-72.
[4] Salah seorang penyimpan peralatan wayang Palembang adalah Wirawan Rusdi, ia
merupakan keturunan dari seorang dalang yang bernama Ki Agus Rusdi Rasyid
(Alm), sekarang tinggal di daerah Kelurahan 36 Ilir, Kec. Gandus. Kota
Palembang.
[5] Dalang adalah yang memainkan seni pertunjukan wayang. Baca Boedanani ,
Tambo Kerajaan Sriwijaya (Bandung: Tarate, 1961), hlm. 50-52.
9Sebagaimana diketahui, abad XV Palembang termasuk daerah kekuasaan Majapahit
dan sebagai daerah taklukan maka Majapahit menempatkan wakilnya di Palembang
yakni Ario Damar (putra Prabu Brawijaya Sri Kertawijaya). Pada saat Ario Damar
berkuasa, Raden Rahmad atau kemudian dikenal dengan Sunan Ampel singgah selama
dua bulan di Palembang dan berhasil mengajak Ario Damar masuk Islam meski
dengan sembunyi-sembunyi, dengan kata lain belum mau terbuka dengan
keislamannya. Hal tersebut dimungkinkan karena kekawatirannya terhadap penguasa
Majapahit yang masih beragama Hindu. Setelah masuk agama Islam namanya berubah
menjadi Ario Dillah atau Ario Abdillah. Pada waktu-waktu tertentu Ario Dillah
menghadap Raja Majapahit, dan ia selalu singgah ke tempat Raden Rahmad (Sunan Ampel)
guna menambah ilmu pengetahuan Islam. Setelah kembali ke Palembang ia selalu
mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang berdagang di Palembang
[6] Sebagaimana diketahui, abad XV Palembang termasuk daerah kekuasaan
Majapahit dan sebagai daerah taklukan maka Majapahit menempatkan wakilnya di
Palembang yakni Ario Damar (putra Prabu Brawijaya Sri Kertawijaya). Pada saat
Ario Damar berkuasa, Raden Rahmad atau kemudian dikenal dengan Sunan Ampel
singgah selama dua bulan di Palembang dan berhasil mengajak Ario Damar masuk
Islam meski dengan sembunyi-sembunyi, dengan kata lain belum mau terbuka dengan
keislamannya. Hal tersebut dimungkinkan karena kekawatirannya terhadap penguasa
Majapahit yang masih beragama Hindu. Setelah masuk agama Islam namanya berubah
menjadi Ario Dillah atau Ario Abdillah. Pada waktu-waktu tertentu Ario Dillah
menghadap Raja Majapahit, dan ia selalu singgah ke tempat Raden Rahmad (Sunan
Ampel) guna menambah ilmu pengetahuan Islam. Setelah kembali ke Palembang ia
selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang berdagang di Palembang
[7] 10 Djohan Hanafiah, Budayawan, Wawancara, Palembang Juni 2008.
[8] Nurhayati, Kabag. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Palembang,
Wawancara, Juni 2008
[9] Abd. Azim Amin. “Syeh Muhammad Azhari al-Palimbani” Laporan Penelitian
Naskah Melayu Palembang.
[10] Iskandar, op. cit.
[11] Abdul Azim Amin. Tokoh Masyarakat. Wawancara. Palembang Mei 2008.
[12] Syukri Akhkab, Dalang Palembang, Wawancara, Juni 2008.
[13] Kgs. Rusdi Rasyid, Serat Tuntunan Pelaksanaan Pagelaran Wayang Palembang
dengan Lakon Petruk Munggah Ratu ( Palembang : Pepadi. T.Th), hlm 1-2